Biografi Hoegeng
Di dalam beberapa kesempatan, Gus Dur pernah berkata, "Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng".
Hoegeng yang disebut-sebut oleh Gus Dur sebenarnya adalah Jendral Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang lahir di Pekalongan pada tanggal 14 Oktober 1921. Beliau menamatkan pendidikan dasarnya di HIS pada tahun 1934 dan dilanjutkan menempuh pendidikan di MULO hingga 1937 dan mengenyam pendidikan di AMS Westers Klasiek. Setelah itu, dia belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School Batavia tahun 1940.
Karier kemiliteran Hoegeng muda di dapat setelah beliau mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Jabatan pertama yang di embannya adalah sebagai Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang pada tahun 1944 dan setahun kemudian di angkat menjadi Kepala Polisi Jomblang dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah. Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966. Jabatan terakhir beliau adalah Kepala Kepolisian Negara pada 5 Mei 1968 yang selanjutnya berubah menjadi Kapolri.
Beberapa hal yang menonjol selama Hoegeng bertugas antara lain pewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor, di mana pada saat itu penggunaan helm bagi pemotor merupakan hal yang baru bagi masyarakat indonesia.
Beliau pernah juga membuat kehebohan pada saat di tunjuk sebagai Kepala Reskrim Sumatra Utara di Medan. Saat pertama kali sampai di Medan, beliau tidak mau menempati rumah dinasnya dan memilih tinggal di hotel setelah tahu jika perabotan yang ada dalam rumah dinasnya berasal dari cukong-cukong pengusaha yang sering memanfaatkan oknum-oknum polisi demi kepentingan mereka. Selanjutnya beliau mau mendiami rumah dinas tersebut setelah semua isi (perabot) yang tidak jelas sumbernya di keluarkan dan di letakkan di pinggir jalan.
Dalam suatu kesempatan, Hoegeng pernah menyuruh ajudannya untuk mengembalikan motor yang tiba-tiba di kirim oleh perusahaan motor baru ke garasi rumahnya. Bahkan satu hari sebelum di angkat sebagai Kapala Jawatan Imigrasi beliau memerintahkan istrinya yang saat itu memiliki usaha penjualan bunga untuk menutup tokonya. Beliau takut jika semua yang berhubungan dengan imigrasi akan membeli bunga di toko istrinya dan itu akan memberikan kerugian pada toko-toko bunga lainnya.
Hoegeng diberhentikan dari Kapolri oleh Presiden Soeharto karena berani mengungkap kasus penyelundupan mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok yang di dalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It dan di duga melibatkan keluarga cendana. Beliau semakin di kucilkan oleh pemerintahan orde baru setelah terlibat dalam lahirnya Petisi 50 yang mengkritik Soeharto karena menafsirkan Pancasila terlalu sempit dan mempromosikan kerja sama ABRI dengan Golkar.
Pada tanggal 14 Juli 2004, akhirnya Beliau di panggil ke haribaanNya di RSCM karena menderita sakit stroke dan Pendarahan Lambung. Jendral yang sangat termasyhur itu akhirnya di makamkan di TPU Gintama , Bojong Gede Bogor, bukan di taman makam pahlawan layaknya pahlawan-pahlawan yang lain.
(dari berbagai sumber)
(dari berbagai sumber)