Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan adanya seorang milyarder yang menikahi gadis berusia 13 tahun. Bahkan berdasarkan pengakuan dari sang milyader tersebut dia juga akan menikah lagi dengan gadis yang berusia 7 dan 9 tahun. Beragam komentar dan pendapat yang muncul menegaskan seolah-olah itu adalah suatu masalah besar yang perlu dibahas oleh seluruh warga negara ini yang sebenarnya masih memiliki masalah lain yang lebih besar .
Seorang Kak Seto yang merupakan pemerhati masalah anak membuka kitab-kitab saktinya yang terangkum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan berbagai alasan beliau mengatakan bahwa hal tersebut melanggar kitab sucinya karena termasuk sebagai tindakan yang mengandung eksploitasi terhadap anak-anak. Menurut Kak Seto, anak-anak masih memiliki dunianya sendiri yang tidak boleh digugat oleh orang tuanya. Mereka masih butuh bermain, istirahat, bermanja2 dengan orang tua dan sahabat serta belajar hal-hal yang ada di sekitar mereka. Tentu saja kita semua membenarkan pernyataan dari Kak Seto yang pengetahuannya tentang anak melebihi pengetahuan orang tua anak tersebut.
Kalau kita melihat televisi, pasti mata kita dimanjakan oleh tontonan lucu nan menggemaskan yang disuguhkan dari anak-anak kecil yang bermain peran. Tiap hari sehabis magrib banyak sekali ibu-ibu yang menambatkan matanya di layar kaca demi melihat kelucuan dan kepolosan Si Baim (yang kalo ane taksir umurnya baru sekitar 3-4 tahunan). Dan apabila kita perhatikan masih banyak lagi baim-baim lain yang harus meninggalkan kebutuhan bermain, istirahat dan bermanja-manja dengan orang tua demi memanjakan mata pemirsa televisi. Mereka harus mengikuti syuting berjam-jam selama satu hari demi mengejar deadline yang kita berikan. Kita pasti tidak merasakan karena yang kita lihat adalah gambaran dari kelucuan anak kecil tanpa bisa melihat kondisi di balik layar.
Kembali ke pernikahan dini diatas. Beberapa ulama (bahkan Ketua MUI) mengecam pernikahan ala milyader di daerah Semarang tersebut. Berbagai dalil agama mereka keluarkan tetapi memalui perantara media cetak dan elektronik untuk melawan dalil dari Sang milyader. Suatu hal yang berbeda dengan perlakuan beberapa oknum orang yang menghalalkan “Kawin Kontrak” untuk menutupi prostitusi di beberapa sudut wilayah negeri. Kawin Kontrak dan Kawin di bawah umur apabila dilakukan secara membabi-buta akan memunculkan eksploitasi-eksploitasi baru. Kedua tindakan tersebut, bukanlah suatu permasalahan apabila pelaku-pelakunya merupakan orang yang benar-benar mengerti ajaran agama.
Kalau kita mau berfikir, tentu vonis eksploitasi tidak hanya kita jatuhkan kepada Si Milyader dari Semarang saja, tetapi juga kepada pelaku-pelaku industri pertelevisian-dan kalau mau jujur, kita juga harus dipersalahkan karena ikut membantu dan mendukung usaha mereka. Juga kepada ahli-ahli agama yang lain yang telah melegalkan kawin kontrak padahal mereka tahu kalau tujuannya adalah nafsu.
Kalau kita mau adil, kita tentu tidak akan melihat satu kasus dari satu sisi saja atau menilai suatu kejadian dengan kacamata emosi dan infotainment. Jangan melihat siapa yang melakukan, tapi lihat juga kenapa dia melakukan.
Kalau Bukan dari kita, dari siapa lagi ?
Klegen, 26 Okt O8